Test Footer

SUALANG DAN ABDI BUCHARI DIJATUHI HUKUMAN 2 TAHUN PENJARA

Putusan bebas murni PN. Manado terhadap 2 (dua) Pejabat teras Pemda di Sulut yaitu Drs. Freddy H. Sualang (Wakil Gubernur non aktif) dan Drs. Abdi Buchari (Wakil Walikota/Plt Walikota Manado) ternyata tidak bertahan lama dinikmati keduanya.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Sulut yang menyeret kaduanya dalam kasus Korupsi MBH Gate akhirnya pada Tingkat Kasasi Mahkamah Agung berhasil membuktikan keterlibatan keduanya dalam kasus yang juga melibatkan beberapa Anggota Dewan Prop. Sulut.
Mahkamah Agung dalam putusan tertanggal 27 April 2010 perkara No. 2568 K/Pid.Sus/2009 telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado tanggal 31 Agustus 2009 Nomor : 215/Pid.B/2009/PN.Mdo., dengan amar putusan menghukum keduanya masing-masing 2 (dua) tahun penjara dan Denda sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan. Keduanya juga dihukum untuk membayar uang pengganti masing-masing Rp. 175 juta bagi Freddy H. Sualang dan Rp. 75 juta bagi Abdi Buchari. Putusan Kasasi Mahkamah Agung yang di Ketuai Djoko Sarwoko, SH.MH. dan I Made Tara, SH.,Prof.Dr. Komariah Sapardaja, SH. masing-masing sebagai Hakim Anggota
Freddy H. Sualang saat di tanya Wartawan menanggapi putusan Mahkamah Agung itu dengan menyatakan bahwa sebagai warga negara yang baik dan taat hukum akan patuh terhadap hukum yang sudah diputuskan. Namun Sualang yang juga sebagai Ketua DPD PDIP Sulut ini menyatakan bahwa ia masih akan menempuh upaya hukum untuk mendapatkan keringanan hukuman. Sementara Abdi Buchari belum menanggapi putusan tersebut karena saat ini ia sedang ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Malendeng Manado dalam kasus lain yang baru-baru ini diekspos Kejari Manado, dimana Abdul Buchari terjerat Kasus Dana Bantuan Sosial (Bansos) dan PD Pasar Manado.
(sumber Koran Metro Manado)

VONNY PANAMBUNAN BAKAL CALON PDIP SULUT



Ketua PDIP Sulut Freddy Sualang pada Pilkada Gubernur Sulut tahun ini bakal memainkan politik tingkat tinggi. Hal ini dapat dibaca dari pertemuannya dengan mantan Bupati Minut Vonny Aneke Panambunan di Jakarta baru-bari ini. Freedy Sualang yang dikenal sebagai politisi PDIP senior akan memainkan manuver tingkat tinggi. Seperti diketahui saat ini Vonny Panambunan mulai menebar jurus menarik simpati calon pemilih dengan bagi-bagi uang. Melihat posisi Vonny Panambunan saat ini yang mulai dicintai calon pemilih karena kedermamawanannya, maka tidak menutup kemungkinan calon-calon lain mulai keder dengan kehadiran wanita cantik ini. Freddy Sualang tentu telah mengkaji eksistensi wanita Millyader ini sehingga ia tertarik merangkul wanita populis ini.

Jika PDIP Sulut mengakomodir Vonny Panambunan, maka dapat diprediksi Pilkada Sulut tahun ini akan ramai. Freddy Sualang sepertinya punya strategi melihat peta politik saat ini yang ramai dengan calon-calon potensial sehingga harus jeli jika memenangi Pilkada Gubernur saat ini. Nah, salah satunya harus melihat kecenderungan masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya.
Masyarakat Sulut saat ini yang dililit kesulitan ekonomi akan cenderung memilih figur yang sudah memberikan nilai tambah bagi ekonominya.

S.H. SARUNDAJANG KURANG DIMINATI PARPOL PENGUSUNG CALON GUBERNUR


SH. Sarundajang bakal tidak ikut Pilkada Gubernur Sulut. Partai PDIP dimana Sarundajang mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur sepertinya akan mengabaikan figur populis ini. Padahal Sarundajang adalah figur yang diusung PDIP berpasangan dengan Fredy Sualang dan mampu memenangkan pertarungan kala itu.

Dalam Pilkada tahun ini PDIP diminati figur-figur potensial lainnya yang juga siap bertarung dalam Pilkada. Oly Dondokambey yang juga Anggota DPR RI Utusan Sulut dari partai PDIP bakal melenggang ke Pilkada dari PDIP.

ASAL USUL SUKU MINAHASA



October 28, 2007 by sigarlaki
Asal Usul SUKU MINAHASA anak suku TONSEA
Menurut fakta- fakta penyelidikan kebudayaan dunia dan benda- benda purbakala yang terdapat di Eropa, Afrika, Asia, Amerika, maka manusia diperkirakan mulai menyebar hingga ke pelosok di muka bumi sejak 35 ribu tahun lalu.
Di tanah Minahasa sendiri kaum pendatang mempunyai ciri seperti:
Kaum Kuritis yang berambut keriting, Kaum Lawangirung (berhidung pesek)
Kaum Malesung/ Minahasa yang menurunkan suku-suku :Tonsea, Tombulu, Tompakewa, Tolour, Suku Bantenan (Pasan,Ratahan),Tonsawang, Suku Bantik masuk tanah minahasa sekitar tahun 1590 .


Suku Minahasa atau Malesung mempunyai pertalian dengan suku bangsa Filipina dan Jepang, yang berakar pada bangsa Mongol didataran dekat Cina. Hal ini nyata tampak dalam bentuk fisik seperti mata, rambut, tulang paras, bentuk mata, dll.
Dalam bahasa, Bahasa Minahasa termasuk rumpun bahasa Filipina Tetua- tetua Minahasa menurunkan sejarah kepada turunannya melalui cerita turun temurun (biasanya dilafalkan oleh Tonaas saat kegiatan upacara membersihkan daerah dari hal- hal yang tidak baik bagi masyarakat setempat saat memulai tahun yang baru dan dari hal kegiatan tersebut diketahui bahwa Opo Toar dan Opo Lumimuut adalah nenek moyang masyarakat Minahasa, meskipun banyak versi tentang riwayat kedua orang tersebut.
Keluarga Toar Lumimuut sampai ketanah Minahasa dan berdiam disekitar gunung Wulur Mahatus, dan berpindah ke Watuniutakan (dekat Tompaso Baru sekarang dan dengan kehidupan pertanian yang sarat dengan usaha bersama dengan saudara sekeluarga/ taranak tampak dari berbagai versi tarian Maengket) Sampai pada suatu saat keluarga bertambah jumlahnya maka perlu diatur mengenai interaksi sosial didalam komunitas tersebut, yang melalui kebiasaan peraturan dalam keturunannya nantinya menjadi kebudayaan Minahasa.
Demikian juga dengan isme atau kepercayaan akan sesuatu yang lebih berkuasa atas manusia sudah dijalankan diMinahasa sejak awal.
Tingkatan atau status sosial diatur sbb :
Golongan Makasiow (pengatur ibadah yang disebut Walian/ Tonaas) hingga saat ini istilah yang dipakai adalah 2 X 9 ( 9 orang tonaas yang menempati posisi antara Sang penguasa dengan Surga dan Bumi, Baik tidak Baik, dan semua hal tentang keseimbangan Golongan Makatelu pitu (pengatur/ pemerintah dengan gelar Patu’an atau 3 X 7 Teterusan/ kepala desa dan pengawal desa disebut Waranei ( 7 orang pengatur/ pemerintah)
Golongan Makasiow Telu 9 x 9
Seiring waktu, jumlah penduduk bertambah, tempat tinggal mulai padat dan lahan terbatas, maka keturunan Toarlumimuut berpencar tumani (membuka lahan baru)untuk kelangsungan taranak mereka serta Golongan Pasiyowan Telu (rakyat)
Sejak awal bangsa Minahasa tiada pernah terbentuk kerajaan atau mengangkat seorang raja sebagai kepala pemerintahan
Kepala pemerintah adalah kepala keluarga yang gelarnya adalah Paedon Tu’a atau Patu’an yang sekarang kita kenal dengan sebutan Hukum Tua. Kata ini berasal dari Ukung Tua yang berarti Orang tua yang melindungi. Ukung artinya kungkung = lindung = jaga. Tua : dewasa dalam usia, berpikir, serta didalam mengambil Kehidupan demokrasi dan kerakyatan terjamin Ukung Tua tidak boleh memerintah rakyat dengan sewenang-wenang karena rakyat itu adalah anak-anak dan cucu-cucunya, keluarganya sendiri Sebelum membuka perkebunan, berunding dahulu dan setelah itu dilakukan harus dengan mapalus Didalam bekerja terdapat pengatur atau pengawas yang di Tonsea disebut Mopongkol atau Rumarantong, di Tolour disebut Sumesuweng.
Di Minahasa tidak dikenal sistim perbudakan, sebagaimana lasimnya di daerah lain pada saman itu, seperti di kerajaan Bolaang,Sangir, Tobelo, Tidore dll. Hal ini membuat beberapa dari golongan Walian Makaruwa Siyow (eksekutif ingin diperlakukan sebagai raja. seperti raja Bolaang, raja Ternate, raja Sanger yang mereka dengar dan temui disaat barter bahan bahan keperluan rumah tangga.
Setelah cara tersebut dicoba diterapkan dimasyarakat Minahasa oleh beberapa walian/hukum tua timbul perlawanan yang memicu terjadinya pemberontakan serentak di seluruh Minahasa oleh golongan rakyat /Pasiyowan Telu, Alasannya karena, bukanlah adat pemerintahan yang diturunkan Opo Toar Lumimuut, dimana kekuasaan dijalankan dengan sewenang-wenang.
Akibat pemberontakkan itu, Tatanan kehidupan di Minahasa menjadi tidak menentu, peraturan tidak diindahkan Adat istiadat rusak, Perebutan tanah pertanian antar keluarga Hal ini membuat golongan makarua/makadua siow (tonaas) merasa perlu mengambil tindakan pencegahan dengan mengupayakan musyawarah raya yang dimotori oleh Tonaas-tonaas senior dari seluruh Minahasa di Watu Pinabetengan.
Luas Minahasa pada jaman ini adalah dari pantai likupang, Bitung sampai ke muara sungai Ranoyapo ke gunung Soputan, gunung Kawatak dan sungai Rumbia Wilayah setelah sungai Ranoyapo dan Poigar, Tonsawang, Ratahan, Ponosakan adalah termasuk wilayah kerajaan Bolaang Mongondow, sampai kira-kira abad ke 14.
Dalam musyawarah yang dihadiri oleh seluruh keturunan Toar Lumimuut, memilihTonaas Kopero dari Tompakewa sebagai ketua yang dibantu anggota Tonaas Muntuuntu dari Tombulu dan Tonaas Mandey dari Tonsea.mereka bertugas untuk konsolidasi ketiga golongan Minahasa tsb.
Hasil-hasil musyawarah tsb, pada sebagian orang dikaitkan dengan nama tempat berlangsung musyawarah yang dikenal saat sekarang dengan Watu Pinawetengan ( batu tempat dimana mereka bersatu untuk kemudian membagi) bertujuan untuk mengembalikan adat yang diwariskan Toar Lumimuut. 9 pokok hasil musyawarah yaitu:
Kepala pemerintahan dipilih dari yang tua, jujur, berani, wibawa, kuat dan berani maju dalam segala hal, segala usaha harus dimusyawarahkan.
Dewan tua-tua (Patuosan) yang mengawasi jalannya pemerintahan oleh Hukum Tua, Mempertahankan kebiasaan yang sudah baik. (Kenaramen memperketat wibawa orang tua kepada anak-anak perempuan dan laki-laki sama kedudukannya, Pesan tua-tua jangan diremehkan.
Sejak saat itu pemerintahan di Minahasa dipegang oleh Rakyat (Pasiowan Telu) karena demokrasi mulai diterapkan
Keputusan penting yang lain adalah membagai wilayah Minahasa menjadi 4 wilayah Tontewoh, Tombulu, Tompakewa, Tolour.
Istilah Tontewoh diganti Tonsea pada tahun 1679 sedangkan istilah Tompakewa diganti Tontemboan pada tahun 1875.
Setelah selesai musyawarah di Watu Pinabetengan, setiap anak suku Tanah Malesung/ Minahasa yaitu 4 anak suku yang merdeka dan dipimpin tonaas masing masing kembali dengan para walak( pemerintahan otonom) kumpulan beberapa desa/ wanua. Suku Tonsea dipimpin Tonaas Walalangi dan Tonaas Rogi berangkat menuju ke arah Timur Laut disebelah Timur Tenggari.
Suku Tombulu ke Utara dipimpin Tonaas Walian Mapumpun, Tonaas Belung dan Tonaas Kekeman ke Majesu.
Suku Tolour berangkat ke Timur ke Atep dipimpin Tonaas Singal.
Suku Tontemboan berangkat ke Barat Laut menempati Kaiwasian sekitar Tombasian.
Anak suku Tonsea dari Niaranan, suku Tonsea pindah ke Kembuan. Di daerah tersebut banyak tumbuh kayu sea yang digunakan sebagai obat. Itulah sebabnya mereka menyebut suku mereka Tou un sea atau Tonsea. Keluarga dari Kembuan sebagai berikut:
Keluarga Tonaas Rurugala menempati daerah Walantakan
Keluarga Tonaas Wenas menempati daerah Sinalahan.
Keluarga Tonaas Roringtudus menempati daerah Tiwoho.
Keluarga Tonaas Maramis menempati daerah Kinarepuan
Keluarga Tonaas Roringwailan menempati daerah Kuhun.
Keluarga Tonaas Sigarlaki dan Tonaas Maidangkai menempati daerah Maandon.
Keluarga Tonaas Runtukahu, menempati daerah Kumelembuai.
Keluarga Tonaas Kapongoan dan Tonaas Dotulung menempati daerah Kema.
Abad ke-15 Tonaas Dotulung, Tonaas Tidajoh, Tonaas Koagou menguasai daerah Dimembe. Salah satu hal yang menonjol di Tonsea adalah tetap adanya satu walak/ anak suku Tonsea. Tonsea tetap utuh satu dibawah Tonaas Dotulung yang kemudian namanya dirubah menjadi Dotulong.
Sumber: Kawanua

BUDAYA MINAHASA BAGIAN KEDUA

Tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan dan Ratahan (Patokan)
Posted by www.RYKERS.org Labels: Cerita Manado, Suku Minahasa

Tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan dan Ratahan (Patokan)


www.mdopost.com - Friday, 06 June 2008
(Suatu tinjauan historis setahun Kabupaten Minahasa Tenggara)
Oleh Christian H Gosal
SEJARAH suatu bangsa menjadi begitu bermakna sebagai ekspresi berbagai aspek kehidupan masyarakat dan pembanguannya, sekaligus dapat mencerminkan apresiasi jati diri manusianya hingga generasi ke generasinya. Dari landasan itu, dicoba untuk menelusuri sekilas historis tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan dan Ratahan (Patokan) sebagai tou Minahasa Tenggara, tou Minahasa.


Dari Utara
Melalui penelusuran sejarah asal-usul tou Minahasa, khususnya tou Pasan, Tonsawang, Ponosakan, dan Ratahan (Patokan) beberapa pakar seperti AL Beekman, Dr Paul Sarasin, Dr Frits Sarasin, J Ch Gaterer dan O Lorensz menjelaskan, melihat ciri-ciri tou Minahasa umumnya yang bermata sipit hitam kecoklatan dan warna kulit lebih terang dari suku bangsa Indonesia lainnya, menyiratkan bahwa tou Minahasa adalah suku pendatang yang dari luar, boleh jadi berkeluarga dengan bangsa Jepang dan Mongolia. Darinya para sejarawan Minahasa separti J.F. Malonda, (Membuka Tudung Dinamika Filsafat Minahasa Purba, 1951), H.M. Taulu (Sedjarah Minahasa, 1955) dan F. S. Watuseke (Sedjarah Minahasa, 1962) menyimpulkan, suku bangsa Minahasa bertalian dengan Jepang dan Mongolia. Kenyataannya dapat lihat dari bentuk tulang wajah (osteografi), rambut, mata, ruas buku anggota badan, pigmen, darah dan adanya persamaan unsur-unsur arsitek bangunan rumah dan bentuk waruga (Sejarah Minahasa, 1962). Mereka datang sekitar tahun 500 hingga tahun 200 sebelum masehi (zaman perunggu) atau zaman Melayu muda dengan mengarungi lautan, hingga tiba di Minahasa.

Dari pendapat di atas, Tandean, seorang ahli bahasa dan huruf Cina Kuno, 1997 datang meneliti di Watu Pinawetengan. Melalui tulisan “Min Nan Tou” yang terdapat di batu itu, ia mengungkapkan, tou Minahasa merupakan turunan Raja Ming dari tanah Mongolia yang datang berimigrasi ke Minahasa. Arti dari Min Nan Tou adalah “orang turunan Raja Ming dari pulau itu” Toar adalah seorang panglima perang kerajaan Ming, sedangkan Lumimuut merupakan putri Raja Ming. Suatu ketika kerajaan Ming mendapat serangan dari kerajaan tetangga dengan maksud untuk menguasai wilayah kerajaan Ming, namun peperangan itu dimenangkan oleh pasukan Toar. Kemudian Raja Ming menghendaki agar putrinya Lumimuut menikah dengan Toar, walaupun sesuai peraturan istana perkawinan itu tidak memungkinkan karena Toar bukan keturunan bangsawan (Roy E Mamengko,ed, Etnik Minahasa, 2002). Namun demikian Raja Ming tetap mengawinkan Toar dan Lumimuut, walaupun keduanya tidak boleh tinggal di dalam istana. Itu sebabnya setelah menikah, Toar dan Lumimuut bersama beberapa pengikut di antaranya seorang Walian (pemimpin agama) yang bernama Karema, Tonaas (pemimpin), Waraney (prajurit pemberani) dan beberapa rakyat biasa (petani), merantau dengan mengarungi lautan hingga tiba di pantai ujung utara Pulau Sulawesi dan berlabuh di tempat yang dinamakan Tinumpaan/Tumpaan, artinya tempat yang dituruni.

Dari Tumpaan mereka melakukan perjalanan ke arah barat hingga tiba di suatu dataran luas yang di tengahnya terdapat sebuah danau besar yang dinamakan Bulilin, artinya dipenuhi air, diapit oleh dua buah gunung, yaitu Gunung Soputan, artinya perkasa, dan Gunung Wulur Mahatus, artinya pegunungan seratus. Di tempat yang baru, Walian Karema mulai mengatur tempat pemukiman di empat lokasi, yaitu bukit Batu, Powod, Abur, dan Kali.
Perkawinan Toar dan Lumimuut, dikaruniai banyak anak (F.S Watuseke, Op.Cit, 1962). Kehamilan pertama dan kedua Lumimuut melahirkan dua kali kembar sembilan, sehingga anak–anak itu di namakan Se Makarua Siow (2x9). Kemudian saat melahirkan ketiga, keempat dan kelima, seluruhnya kembar tujuh dan anak-anak itu dinamakan Se Makatelu Pitu (3x7). Pada kelahiran yang keenam dan ketujuh, Lumimuut memperoleh kembar tiga. Namun anak-anak itu bukan dinamakan Se Makarua Telu (2x3) melainkan Se Pasiowan Telu, karena setiap kali anak-anak itu dilahirkan, disambut dengan siulan burung Manguni sebanyak sembilan kali. Kelompok Makarua Siow kemudian menjadi Walian, Makatelu Pitu menjadi Tonaas dan Pasiowan Telu, menjadi rakyat biasa.

Adapun empat buah perahu yang menyusul rombongan Toar dan Lumimuut, konon dua di antaranya berlabuh di Kema, kemudian mendirikan pemukiman di Minawerot, Kumelembuay dan Kalawat (Klabat). Satu buah perahu berlabuh di Atep. Mereka menuju ke sebelah barat dan menjumpai sebuah danau besar yang berada di tengah dataran tinggi dan memutuskan untuk bermukim di situ lalu mendirikan pemukiman Tataaran, Koya, Tampusu (Remboken) dan Kakas. Namun beberapa di antaranya, menyusuri pesisir pantai ke arah selatan hingga tiba di Bentenan dan sebahagian lagi di antaranya menuju ke sebelah barat lalu mendirikan pemukiman Tosuraya. Sedangkan satu buah perahu berlabuh di Pogidon kemudian mendirikan pemukiman Singkil dan Malalayang di sekitar Gunung Bantik.

Ketika penduduk di sekitar Danau Bulilin terus bertambah banyak, para Tonaas, Walian dan Potuusan berinisiatif mengadakan musyawarah untuk membicarakan tentang (Tumani) penyebaran penduduk ke berbagai penjuru di tanah Malesung. Tumani inilah yang dikatakan H. M. Taulu (Op. Cit, 1955) sebagai pemancaran pertama orang Minahasa. Di tempat yang baru, mereka bertemu dengan orang-orang lain yang bukan sekaum Taranak. Di antara turunan mereka, terjadi perkawinan campur sehingga dengan semakin banyaknya Taranak-taranak, maka terciptalah wanua (negeri).

Sebagaimana ketentuan adat, golongan Pasiowan Telu diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum dan pinontol (bekerja kepada para pemimpin), seperti menanam dan menuai. Selain itu diwajibkan membagi hasil pertanian, peternakan maupun perburuan mereka kepada golongan Makarua Makasiow dan golongan Makatelu Pitu serta melakukan ketentuan-ketentuan adat misalnya mempersiapkan kurban persembahan setiap dilangsungkan ritual poso negeri dan menjaga keamanan negeri secara bergiliran (Drs. R. E. H. Kotambunan,Minahasa II & III, 1985).

Sekitar abad ke-5 terjadi pemberontakan dan peperangan dari golongan Pasiowan Telu karena tuntutan mereka agar tanah-tanah adat sebagai lahan pertanian yang sebagian besar sudah di-apar (diolah) sebagai milik golongan Makarua Siow dan Makatelu Pitu agar dibagi secara adil, menuntut agar sistem pengangkatan pemimpin tidak lagi bersifat otoritas golongan Makarua Siow dan golongan Makatelu Pitu, melainkan harus dipilih dari seluruh anggota masyarakat, tidak dikabulkan dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan adat.

Melihat peperangan antar Walak (kelompok Taranak) terus berlangsung, tahun 670, beberapa Walian dan Tonaas menyadari akan pentingnya suatu musyawarah di dalam usaha menciptakan kembali akan persatuan dan kesatuan yang berlangsung di sekitar kaki Gunung Tonderukan. Di tempat itu, terdapat sebuah batu “Tumotowa” tempat pelaksanaan ritual poso (J. G. F. Riedel, The Minahasa, 1862). Kendati berlangsung alot, namun musyawarah yang dipimpin oleh Tonaas Kapero yang berasal dari kelompok Pasiowan Telu bersama Muntu Untu dari golongan Makarua Siow sebagai panitera/notulis dan Mandey sebagai saksi, berhasil mencapai beberapa kesepakatan penting, di antaranya:
- Menerima penetapan pembagian pemukiman setiap kaum Taranak
- Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan ketentuan adat dan ritual yang tetap berlandaskan kepercayaan terhadap Empung Walian Wangko (Tuhan Yang Maha Agung) dan opo (leluhur).
- Setiap kaum Taranak dapat mengembangkan bahasa sesuai kehendak masing-masing, namun semuanya tetap mengaku sebagai satu Kasuruan, yang tidak dapat dicerai-beraikan oleh siapapun.
Selanjutnya pembagian wilayah pemukiman diatur sebagai berikut :
1. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Mapumpun, Belung, dan Walian Kakamang menuju sekitar Gunung Lokon dan bermukim di Mayesu, dekat Kinilow dan Muung. Mereka disebut Tou Muung kemudian menjadi Tomohon. Mereka dinamakan Tombulu.

2. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Walalangi dan Walian Rogi menuju ke Niaranan dan Kembuan (Tonsea Lama). Sebagian lagi mendirikan pemukiman di sekitar Gunung Kalawat (Kalabat). Mereka disebut “Tou Un Sea” (Tonsea)

3. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Karemis dan Piay, pergi ke arah barat dan menyebar ke Tombasian, Kawangkoan, Langowan, Rumoong (Tareran) dan Tewasen.

4. Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Pangemanan, Runtuwene dan Mamahit, menuju ke Kakas, Atep dan Limambot. Mereka dinamakan Toulour.

5. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Wuntu, menuju ke Bentenan. Sebagian lagi mendirikan pemukiman di Ratan. Mereka disebut Ratahan. Yang menuju ke Towuntu (Liwutung), mereka disebut tou Pasan. Beberapa di antara tou Pasan mengadakan tumani dan bermukim di Tawawu (Tababo), Belang dan Watuliney, membaur dengan penduduk dari Taranak Ponosakan, yaitu keluarga Butiti, Wumbunan dan Tubelan yang datang dari Wulur Mahatus (Pontak). Mereka disebut tou Ponosakan.

6. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Kamboyan, menuju ke dataran sekitar Danau Bulilin, tempat asal mereka semula dan mendiami pemukiman di Bukit Batu, Kali dan Abur. Mereka disebut Toundanouw, artinya orang yang tinggal di sekitar air. Kemudian bangsa Belanda menamakan mereka Tonsawang, artinya orang yang suka menolong.

7. Kaum Taranak yang dipimpin oleh Tonaas Angkoy dan Maindangkay menuju ke arah barat hingga tiba di sekitar Gunung Bantik dan mendirikan pemukiman Malalayang. Beberapa di antara mereka pergi bermukim di Pogidon dan Singkil. Karena bermukim di sekitar Gunung Bantik, mereka dinamakan tou Bantik.
Adapun salah satu keputusan penting dari musyawarah di batu ‘’Tumotowa’’ yaitu pembagian wilayah, sehingga batu itu dinamakan ‘’Watu Pinawetengan’’, artinya batu tempat pembagian. Dalam perjalanan sejarah ternyata perang antar anak suku di Malesung masih sering terjadi, sehingga 1428 para pemimpin Minahasa kembali mengadakan musyawarah di sekitar Watu Pinawetengan. Adapun keputusan yang dicapai dalam musyawarah, yaitu: nama ‘’Malesung’’ diubah menjadi ‘’Minahasa’’, berasal dari kata esa (satu), diberi awalan ma dan sisipan in, maka terbentuklah kata ‘’Maha Esa’’ (menyatukan), kemudian menjadi ‘’Minahasa’’ (Dr. Godee Molsbergen, Geschiedenis Van De Minahasa, 1929), artinya yang menjadi satu, yaitu menyatukan seluruh anak suku Minahasa: Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Toulour, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tonsawang dan Bantik.

Mengacu dari uraian di atas, itu berarti bahwa anak suku Patokan yang mendiami wilayah Minahasa Tenggara yang selama ini terkesan adalah pendatang baru, merupakan suatu kekeliruan, tetapi mereka adalah bagian dari satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan anak suku Minahasa lainnya.


Dalam Pusaran Peperangan

Tahun 1639 armada Spanyol memasuki pelabuhan Amurang. Di sana mereka melihat penduduk setempat memakan nasi. Mengetahui sumbernya berasal dari Tonsawang, bangsa Spanyol menuju ke sana dan menyaksikan betapa hasil beras dan hutan berlimpah. Penduduk Tonsawang ketika itu dipimpin oleh Ukung Oki. Kemudian bangsa Spanyol menjalin hubungan dagang dengan cara tukar-menukar (barter). Semula bangsa Spanyol menunjukkan sikap bersahabat sehingga mereka diterima oleh penduduk pribumi, bahkan atas seizin Ukung Oki mereka diperkenankan mendirikan tempat penginapan di dekat bukit Kali. Tidak berselang lama, mereka berubah merasa berkuasa, menghina, dan memperkosa wanita setempat, hingga merampas harta benda. Akibatnya Ukung Oki, segera memanggil panglima perang Lelengboto, untuk melawan orang-orang Spanyol di tempat penginapan mereka hingga terjadi pertempuran dahsyat. Melihat keberanian pasukan Tonsawang, pasukan Spanyol mundur dan lari. Pertempuran dahsyat ini mengakibatkan 40 pasukan Spanyol gugur dan pasukan Tonsawang 29 orang.

Tahun 1644 bangsa Spanyol kembali menduduki Amurang dengan maksud menuntut dan menguasai pembelian beras serta hasil bumi lainnya dari Tonsawang dan Pontak. Penduduk pribumi segera mengangkat senjata lalu terjadi pertempuran yang sengit. Dalam pertempuran itu 100 pasukan Spanyol tertawan dan terbunuh. Melihat keadaan demikian armada Spanyol pimpinan Bartholomeo de Sousa meninggalkan Amurang lalu menuju ke Filipina. Pasukan Tonsawang dan Tontemboan yang gugur antara lain: Panglima Monde gugur sewaktu melindungi istrinya Ukung Oki dan Panglima Worotikan. Atas kemenangan pasukan Ukung Oki, para pemimpin mengadakan musyawarah dan menetapkan memberi gelar kepada Ukung Oki sebagai Ukung Wangko dan Tonaas Wangko (hukum besar dan pemimpin besar) yang memimpin pemerintahan di lima wilayah Walak, yaitu Tombasian, Tonsawang, Pasan Ratahan dan Ponosakan. Benteng Portugis di Amurang dijadikan pusat pemerintahan Tonaas Wangko Oki.

Di dalam menjalankan tugas pemerintahannya, Tonaas Wangko Oki dikenal sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana sehingga ia dihormati dan disegani. Walaupun sudah berstatus janda, namun kecantikannya tidak luntur bahkan semakin menarik.

Raja Bolaang Mongondow saat itu, Loloda Mokoagow sangat tertarik dengan kecantikan Tonaas Wangko Oki sehingga ia melamar Tonaas Wangko Oki untuk menjadi istrinya. Lamaran Raja Loloda Mokoagow diterima dengan syarat Raja Loloda Mokoagow menuruti permintaan Tonaas Wangko Oki, yaitu tanah luas yang terhampar dari Sungai Ranoyapo hingga Sungai Poigar sebagai dooho (mas kawin). Hamparan tanah tersebut adalah wilayah yang sudah lama menjadi sengketa antara Minahasa dan Bolmong. Permohonan Tonaas Wangko Oki disetujui Raja Loloda Mokoagow kemudian mereka berdua melangsungkan perkawinan. Dengan ditetapkannya batas antara Minahasa dan Bolmong yaitu Sungai Poigar di sebelah Barat dan Sungai Buyat di sebelah timur.

Setelah kawin dengan Raja Loloda Mokoagow, kepada Tonaas Wangko Oki diberikan gelar ratu karena sudah menjadi istri seorang raja. Sejak itu mereka tinggal dan menetap di Benteng Portugis, kompleks Gereja Sentrum Amurang. Kemudian Raja Loloda Mokoagow mendirikan sebuah pesanggrahan sebagai tempat istirahat di wilayah kerajaannya yang terletak di pelabuhan alam pantai utara. Tempat itu dinamakan Labuhan Oki.

Adapun pemerintahan Ratu Oki terus mengalami kemajuan pesat. Rakyatnya hidup makmur, aman dan tentram, ditopang oleh pasukan keamanan yang kuat. Bahkan kekuatan pasukan keamanan Ratu Oki sampai diketahui Raja Buitenzorg (Bogor) kemudian memohon bantuan agar kiranya dapat mengirim tentara Ratu Oki untuk memperkuat pasukan kerajaan Buitenzorg. Sebagai ucapan terima kasih, Raja Buitenzorg memberikan hadiah berupa uang dan medali sebesar teluritik yang terbuat dari berlian, di dalamnya bertuliskan Hadiah Raja Buitenzorg kepada RatuTonsawang atas bantuan dan jasanya kepada Raja Buitenzorg (P.A. Gosal, Ratu Oki, Srikandi Minahasa 2000).


Perang Patokan Melawan Belanda

Dengan diterimanya kontrak perjanjian 10 Januari 1679 yang dibuat Belanda, itu berarti Minahasa mengakui kekuasaan Belanda. Tetapi para Ukung dari Bantik, Tonsawang, Ratahan, Pasan dan Ponosakan tidak mau menerima perjanjian tersebut. Pihak Belanda beberapa kali mengadakan pendekatan dengan para Ukung di wilayah Patokan agar menerima perjanjian itu seperti halnya dengan para Ukung Minahasa lainnya. Sebagai tindak lanjut dari desakan pihak Belanda, maka pemimpin keempat Walak masing-masing: Ukung Rugian kepala Walak Tonsawang, Ukung Lokke kepala Walak Pasan, Ukung Watah kepala Walak Ratahan dan Ukung
Mokolensang kepala Walak Ponosakan, sepekat mengadakan musyawarah, namun keputusannya tetap menolak perjanjian 10 Januari 1679 karena dianggap hanya menguntungkan pihak Belanda. Melihat keteguhan prinsip mereka, pihak Belanda mengutus suatu pasukan di bawah pimpinan Sersan Smith melalui ekspedisi dengan kelengkapan perang melalui dua jalur, yaitu jalan darat dari sebelah utara dan laut melalui pelabuhan Belang untuk menggempur keempat wilayah itu. Walak Ratahan dan Ponosakan mendapat serangan mula-mula. Penduduk mengadakan perlawanan tetapi pasukan Belanda yang menggunakan perlengkapan perang yang modern saat itu, berhasil menghancurkan negeri Ratahan dan korban berjatuhan. Peristiwa yang sama juga terjadi di Ponosakan. 5 orang waraney dari Ratahan dan Ponosakan gugur. Dari Ratahan pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah Walak Pasan dan Tonsawang. Setiba di Liwutung, pasukan dari Pasan dan Tonsawang langsung menghadang dan mengadakan perlawanan terhadap pasukan Belanda sehingga 40 penduduk bersama 5 orang Waraney gugur. Sejak saat itu wilayah Walak Ratahan, Ponosakan, Pasan dan Tonsawang secara resmi menerima perjanjian dengan Belanda, sama seperti Walak lainnya di Minahasa.


Kabupaten Minahasa Tenggara

Awal perjuangan pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara sudah mulai menggema sejak 1985, ketika anggota DPRD Kabupaten Minahasa saat itu mengadakan kunjungan ke wilayah selatan Kabupaten Minahasa, dimana beberapa tokoh masyarakat setempat mendesak agar Kabupaten Minahasa Selatan segera dijadikan sebagai daerah otonom. Bersamaan dengan itu aspirasi yang berkembang di Kecamatan Ratahan, Belang, dan Tombatu menginginkan agar wilayah itu layak diperjuangkan menjadi Kabupaten Minahasa Tenggara. Melalui sidang pleno DPRD Minahasa pada 11 Oktober 1985, berhasil memutuskan tentang pemekaran Kabupaten Minahasa Tenggara yang mendapat persetujuan dari pemerintah Kabupaten Minahasa saat itu yang diwakili oleh Sekwilda, Drs SH Sarundajang. Tetapi usulan itu tidak disetujui pemerintah Provinsi
Sulawesi Utara, dengan alasan bahwa pemekaran itu belum mendesak.

Tahun 2003 beberapa tokoh masyarakat di wilayah tenggara Minahasa kembali memperjuangkan Kabupaten Minahasa Tenggara, Januari 2004, terbentuklah Panitia Perjuangan Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara (PPPKMT) dengan ketua, Dirk Tolu SH MH, Sekretaris Arce Manawan SE dan Bendahara Julius Toloiu SE. Sebulan kemudian PPPKMT mengajukan surat ke DPRD Kabupaten Minahasa dan Penjabat Bupati Kebupaten Minahasa Selatan, perihal pengusulan pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara. Sebagai tindak lanjut, Maret 2004, DPRD Kabupaten Minahasa membentuk panitia khusus dengan ketua Julius EA Tiow, Sekretaris Musa Rondo dengan anggota Ronald Andaria SAg dan Herman Tambuwun mengadakan kunjungan kerja ke wilayah Minahasa Tenggara untuk menampung aspirasi masyarakat. Selanjutnya Panitia Khusus DPRD Minahasa bertemu dengan Penjabat Bupati Minahasa Selatan Drs RM Luntungan untuk melaporkan tentang aspirasi masyarakat Minahasa Tenggara.

Untuk memberikan dukungan moril terhadap perjuangan pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara, 31 Januari 2006 terbentuk Forum Pendukung Perjuangan Pembentukan Kabupaten Minahasa Tenggara (FP3K MT) dengan ketua, Johanis Jangin SE, Sekretaris Teddy Rugian SSos yang nantinya mempresur politik ke pihak pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara dan pusat.

Selanjutnya secara berturut-turut, 29 Mei 2006 kunjungan Panitia AD HOC I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang terdiri dari Hj Sri Kadarwati Aswin, Ir Marhany Pua, Lundu Panjaitan SH, Drs H Al Rasyid, Drs KH Marwan Aidid dan seorang staf, Mohamad Ilyas SIP. 27 Juni 2006, anggota Komisi II DPR RI, masing-masing Dr Abdul Gafur, Suyuti, Suyana beserta staf ahli DPR RI Yanuwar dan tim Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) pada 10 Agustus 2006, semuanya dalam rangka mengadakan peninjauan tentang kelayakan Minahasa Tenggara untuk menjadi sebagai kabupaten baru.
Pada 8 Desember 2006, di hadapan ratusan masyarakat Minahasa Tenggara yang hadir di gedung senayan Jakarta, dalam sidang paripurna DPR RI mengesahkan terbentuknya Kabupaten Minahasa Tenggara. Untuk menjalankan roda pemerintahan, pada 23 Mei 2007, Menteri Dalam Negeri Ad Interm, Widodo AS melantik Drs Albert Pontoh MM sebagai penjabat Bupati Kabupaten Minahasa Tenggara.

Tou Patokan Dalam Ke-Minahasa-an
Kendati secara pemerintahan Minahasa Tenggara sudah menjadi daerah otonom, namun sebagai satu kesatuan yang utuh dari Minahasa, maka seharusnya kita memahami makna yang terkandung dalam konteks Minahasa. Sebagaimana hasil musyawarah di Watu Pinawetengan 1428 atau Deklarasi Maesa II, yaitu nama Malesung diubah menjadi Nima Esa, Mina Esa, (Minahasa), artinya: ‘’Ya Setuju Semua Menjadi Satu’’.

Nama Minahasa mengandung suatu kesepakatan mulia dari para leluhur melalui musyarawarah dengan ikrar bahwa segenap tou Minahasa dan keturunannya akan selalu seia sekata dalam semangat budaya Sitou Timou Tumou Tou. Dengan kata lain tou Minahasa akan tetap bersatu (maesa) dimanapun ia berada dengan dilandasi sifat maesa-esaan (saling bersatu, seia sekata), maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), magenang-genangan (saling mengingat), malinga-lingaan (saling mendengar), masawang-sawangan (saling menolong) dan matombo-tomboloan (saling menopang). Inilah landasan satu kesatuan tou Minahasa yang kesemuanya bersumber dari nilai-nilai tradisi budaya asli Minahasa (Richard Leirissa, Manusia Minahasa, 1995).

Sebagai hasil dari peradaban, pendidikan dan budaya yang selalu ingin maju, sejak permulaan abad ke-19 tou Minahasa, di dalamnya tou Patokan bagaikan eksodus meninggalkan tanah leluhur, pergi ke berbagai pelosok Hindia Belanda (nusantara) menjadi sebagai guru injil dan guru sekolah, pengawas perkebunan pemerintah dan pegawai perusahaan swasta milik orang-orang Eropa di Jawa, pegawai pemerintahan, polisi dan tentara KNIL. Selain itu tou Minahasa menjadi pegawai pelayaran, jawatan kereta api, perusahaan minyak, mendirikan pers melayu di antaranya Koran Jawa, Kabar Perniagaan (1903) dan Jawa Tengah (1913) (David E.F. Henley Nasionalism And Regionalisme In Minahasa, 1996). Selanjutnya banyak di antaranya perantauan yang menggeluti profesi modern, seperti dokter, pengacara, insinyur, politikus dan pengusaha yang tersebar di berbagai tempat. Darinya, tou Minahasa termasuk pemerintah, menghormati setinggi-tingginya atas segala hasil usaha putra-putri Minahasa karena dengan saling bahu-membahu telah membawa kemajuan peradaban bagi sesama yang terkebelakang di kepulauan nusantara.

Kendati demikian dimanapun dan dalam keadaan apapun ia berada, tou Minahasa dengan bangga akan berkata,’’saya adalah orang Indonesia asal Minahasa, anak cucu Toar Lumimuut, putra-putri Kawanua’’. Pengembaraan tou Minahasa ke seluruh penjuru dunia telah memberinya berbagai pengalaman sosial, ekonomi, politik dan budaya berbagai bangsa, sekaligus tentang kesuksesan dan kegagalan yang kesemuanya dapat menjadi wacana dalam kerangka mencari jati diri tou Minahasa yang hakiki, yaitu tou ngaasan (pinter), tou beatean (beriman) dan tou keter (kuat dan bertanggung jawab).

Musyawarah Watu Pinawetengan di kaki Gunung Tonderukan, kini sudah membilang berabad-abad lamanya. Dalam kurun waktu teramat panjang, telah terbentang selaksa peristiwa silih berganti bagaikan pelangi yang menghiasi sejarah perjalanan hidup tou Minahasa. Hal ini berarti ke-minahasaan tetap dijiwai dalam ke-indonesia-an, bahkan dalam kemancanegaraan bagi setiap tou Minahasa dimanapun ia berada, sebagai bagian dari satu kesatuan Minahasa yang utuh.

Dengan demikian makna tou Patokan dalam konteks tou Minahasa; adalah menyangkut jiwa, kepribadian dan jati diri tou Minahasa. Jiwa, karena merupakan suatu yang utama, menjadi sumber tenaga dan kehidupan; di dalamnya mencakup seluruh keseutuhan perasaan batin, pikiran dan angan-angan, sehingga ia merupakan roh kehidupan dari setiap tou Minahasa. Sebagai kepribadian, karena ia merupakan seluruh dari sifat-sifat dan watak dari tou Minahasa, dan sebagai jati diri karena ia merupakan sesuatu yang asli dan murni sebagai ciri atau tanda pengenal tou Minahasa.

Hasil karya tou Minahasa/tou Patokan sebagai perwujudan dari potensi cipta, rasa, dan karsa itulah yang disebut sebagai budaya Minahasa dan sebagaimana layaknya suatu budaya, ia mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang kemudian diaktakan dalam bentuk praktis yaitu suatu kekayaan rohani berupa pemikiran, yang kemudian diwujudkan dalam setiap ucapan dan perbuatan keseharian hidup sebagai tou Minahasa.#
*Tou Mitra, pemerhati sejarah budaya Minahasa
AddThis

BUDAYA MINAHASA

Oleh : Chandra D Rooroh
(Budayawan, Pemerhati Masyarakat & Tanah Adat Minahasa)

“(Manusia) menjadi bebas terhadap ikatan- ikatan yang berasal dari luar. Yang mencegahnya bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tau apa yang hendak di inginkan, dipikirkan, dan dirasakan. Tapi masalanya ialah bahwa ia tidak tahu, dan karena ia akan menyesuaikan diri dngan penguasa- penguasa yang tidak dikenal dan ia akan mengiyakan hal- hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan semakin ia ditekan untuk menurut! Manusia modern, meskipun dipulas dengan optimisme dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaikan orang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai tak terhindarkan.- Erich Fromm, Escape from freedom”.


Ada perasaan yang lucu campur malu secara pribadi bagi saya terasa ketika perjalanan kami dimulai di wilayah Tonsea, maklum disinilah saya berasal yaitu di wanua (kampung) kecil yang bernama Treman (bukan Preman ok) diwilayah minawerot, daerah antara Airmadidi dan Bitung dibawah kaki gunung Klabat, 28kilometer dari titik nol kota Manado. Langkah kami (Mawale Movement), Saya, Greenhill weol, Fredy Wowor, Frisky Tandaju dan Bodewyn Talumewo dan Kent Oroh berayun ke desa yang paling jauh diwilayah Minahasa Utara bernama Makalisung langsung disambut dengan hujan dan petir begitu kami sampai disana otomatis basah kuyub yang kami terima, permulaan yang menyenangkan pikir saya dongkol. Untunglah ada sebuah keluarga yang sangat baik hati dapat meluangkan tempat untuk kami berteduh sementara sekalian memberikan informasi tentang keadaan sekitarnya termasuk keberadaan situs Batu Lisung itu. Tanpa ba-bi-bu lagi begitu langit memperlihatkan senyumnya kepada alam untuk membuka jalannya, kami bergegas mencari tempat itu. Di perjalanan yang sedikit menguras tenaga karena pendakian kami sedikit dibingungkan oleh beberapa buah objek yang sering kami anggap bahwa itulah tempatnya (maklum itu pertama kali kami mencarinya), sehingga kami sudah terdampar jauh hampir 1200 meter melewati lokasi itu, kamipun kembali dan berhubung salah satu teman saya (Bode) mempunyai perasaan yang kuat dengan tempat- tempat seperti itu akhiranya bukit yang disebalah timur itu diklaim sebagai tempat situs itu.

Ternyata memang benar inilah tempatnya, tapi selain sulit untuk menaikinya dan Greenhill harus berjuang beberapa melewati barisan tentara alam dan akhirnya harus terjungkal juga karena tagate di tali pohong (semak pohon), sampailah kami dipuncaknya. Ada sekitar lebih dari 20-an batu yang berbentuk lisung ditempat itu. Heran bercampur takjub kami terus mencari lagi sisa batu itu dengan menyisir sebagian timur bukit itu dan tak disangka saya dikagetkan oleh kepakan sayap burung yang lembut namun lebar itu terbang kelangit.”Titikak!” (sejenis Burung Hantu), temanku berkata. Dalam hati saya membenarkan saja karena saya telah melihatnya sendiri, dengan alis yang menyembul keluar dan muka seperti perangai yang marah, mungkin itulah jenis burung Hantu yang dipakai sebagai lambang Minahasa. Yang lebih menarik lagi, burung tadi telah meniggalkan seekor bayi burung tergeletak dengan sayap terbuka. Secara refleks kami menjauhi tempat itu dengan perasaan yang sangat bersalah tapi memang bukan itu tujuan kami, mengganggu keberadaannya.

Di sisi jurang bagian utara kami menemukan sebuah batu yang sangat besar lubangnya serta ada guratan- guratan dibagian pinggir batu itu. Hati saya senang sekali, berpikir bahwa tidak banyak orang- orang khususnya orang Minahasa yang mampu melihat benda seperti ini yang konon telah melewati perjalanan waktu ini dan mungkin menitipkan pesan bahwa sebelum kami sudah pernah ada orang (Leluhur) yang telah hidup disini.

“Sebuah konsep latar pertahanan yang kuno namun sangat efektif untuk tempat ini dimana orang- orang dulu bisa berlindung”. Lamunan kami dikagetkan oleh perkataan fredy. Memang benar setelah dianalisa, tempat ini adalah sebuah bukit kecil, dngan bebatuan disekelilingnya, mampu menjangkau penglihatan sampai ke daerah yang sangat jauh kedalam tanah minahasa maupun luar minahasa, dapat mengintai setiap pergerakan disekitar wilayah itu baik teman maupun lawan! “ah, lihat bentuk tempat ini seperti altar pemujaan pada jaman dahulu” Greenhill kemudian menimpali… Ada benarnya juga. Semoga tetap menjadi pembawa saksi untuk generasi selanjunya, kalaupun saja ada orang- orang yang mau peduli dengan tempat yang seperti ini. Setelah puas dan sedikit mengabadikan tempat itu, kamipun turun, dan kembali ke kampong untuk bersiap- siap melanjutkan perjalanan ke desa kema.

Sesudah berpamitan kepada saudara yang telah menerima kami dengan sangat baik tadi kamipun segera meluncur ke Kema dengan menempuh sekitar 20 menit perjalanan. Desa Kema adalah sebuah desa diwilayah bagian tenggara Tonsea- Minahasa yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 45menit dari titik nol kilometer kota Manado. Dengan sebagian besar lanskape wilayah perairan itu pada umumnya masyarakat disini bergantung hidupnya pada mata pencaharian dilaut. Aaah.. cukup penjelasannya, toh saya sudah melihatnya sendiri. Sampai diperempatan desa kema kami berbelok kea rah kanan dan mulai memasuki daerah wisata Batu Nona. Perasaan saya mendadak jadi aneh, demikian juga ketika melihat sebagian teman- teman yang hanya tersenyum- senyum kecut pada saya! Saya menjelaskan bahwa wilayah daerah wisata itu berada dibalik bukit sebelah sana, kataku menyimpulkan!

Namun apa mau dikata, terkejut, terhina, malu, marah, frustasi, hancur, dan hamper menangis, semua semua perasaan bercampur jadi satu keluar saja dari pikiranku begitu melihat tempat itu. Batu Nona, kenapa wajahmu terlihat buruk? kenapa terlihat sendu? Tempat yang dulu sangat asri, sejuk dengan pantai yang jernih kini menjadi keruh, 2 bukit yang hijau disebelah sana yang dulu begitu hijau kini terasa panas dan gersang, perahu- perahu berserakan dimana- mana, rumah- rumah yang entah mempunai ijin atau tidak berdiri dimana- mana, coret- coretan dimana- mana, galian- galian lubang harta karun dari orang- orang yang tidak bertanggung jawab terlihat disana- sini, ada juga segerombolan orang- orang sedang mennggak minuman keras disekitar situ, dan yang lebih mengejutkan saya lagi ada sebuah bangunan permanent bertuliskan “pabrik es mini”. Pikiranku langsung menegaskan bahwa ini bukan daerah wisata batu Nona dulu itu, ini bukan tempat berkunjung/ berwisata dan tempat memperlihatkan betapa cantiknya daerah malesung yang sebenarnya itu, ini PELABUHAN!! Bukan, pelabuhanpun tidak seberantakan ini… tapi yang pasti ini bukan lagi proyek pemerintah pariwisata dan budaya yang dulu telah menghabiskan miliaran rupiah demi pembangunan dan pemeliharaan tempat ini.

Apakah orang- orang disekitar sini telah melupakannya?? Dimana canda tawa anak- anak rombongan wisata itu, dimana pedagang gorengan yang selalu mangkal di pinggir Los rumah sebelah sana? Dengan linangan airmata saya berlari sekuat tenaga mencari batu itu, sesampai didepannya, tatapan nanar seakan menatapku didepan mataku sendiri, mungkin hendak mengatakan, “kamana ngana selama ini, kyapa baru datang lia pa qta skarang? (kemanakah engkau selama ini, kenapa baru menemuiku sekarang?”. seluruh tenaga saya keluarkan untuk berteriak sekuat- kuatnya ditempat itu.

Apa dayaku? mungkin tak berdaya saat itu… tidak ada lagi tempat untuk menyombongkan diri dihadapan teman- temanku, tidak ada lagi sebuah tempat diwilayahku yang akan kuberitahu pada dunia bahwa disini ada sebuah fenomena alam yang sangat menarik. pikiranku hancur saat itu, apakah mungkin Waruga yang ada di dalam air itu sudah tidak ada lagi?? Mari kita pikirkan kembali dan kalo siapa saja yang ingin atau pernah ketmpat ini pasti sudah pernah mengenal tempat ini dan saya jamin 100% kalau kalian datang lagi sekarang pasti akan salah jalan. Semua ingatan langsung terhapus menyaksikan kegilaan ini… dengan langkah gontai dan dendam yang sudah tersulut demikian besarnya. saya mengajak teman- teman untuk meneruskan perjalanan ke Sagerat, dengan perasaan kurang semangat saya memimpin rombongan yang harus eberapa kali tersesat karena belum tau pasti dimana lokais situ situ berada, tapi satu semangat yang masih membara memaksakan kami yang pada akhirnya sampai di tujuan.

Sebuah tempat yang bkata orang bernama Erpak adalah suatu tempat yang mungkin buat saya adalah tempat yang fenomenal, lihat saja sepanjang perjalanan tadi, tak satupun ada bebatuan yang saya lihat tapi didepan saya sudah berdiri megah sebuah batu yang diameternya mungkin lebih dari 15meter itu membuat saya terheran- heran sekaligus melupakan kejadian tadi. Itulah Batu siouw kurur. Situs ini berada di geo-strategy 4km dari titik nol kota Bitung. dinamakan seperti itu karena diangkat dari sosok urban legendnya orang Minahasa Opo Siouw Kurur, Dia adalah salah satu dari 3 penasihat Opo Muntu Untu jaman pertamanya hidup orang Minahasa, mengemban tugas sebagai penasihat, Kurir sampai tukang Raghes (algojo pemotong kepala). Dan batu ini adalah salah satu pos persinggahannya diwilayah Tonsea bagian timur, sebelumnya juga dikatakan warga masyarakat bahwa ada juga batu seperti ini dibeberapa wilayah di Tonsea seperti Toka Tawalan & tokaimarang desa Treman dan Bukit Makawembeng! Sedikit berlepas lelah dan bertukar pikiran, sambil menukar persepsi dan data hingga diskusi Grenhill sampai ke pojok Permesta, bersenda gurau kami lakukan disitu sehingga tak terasa perut kami keroncongan dan memaksa kami untuk pulang. Lucunya, saya tidak melihat juru kunci disitu sama seperti tempat- tempat yang lain. Tapi tetap pernyataan saya bahwa tana’ orang Minahasa sampai jauh ke utara tangkai Celebes ini dan sudah ada buktinya! tapi apakah orang minahasa telah menyadarinya? Apakah mereka tau akan kehadiran batu itu?

Sampai di Treman kami langsung dihadiakan kopi pahit panas oleh orang tua saya, kontan saja kami langsung tangingi- ngingi sanang ( tersenyum lebar) karena tadi harus bergulat dengan dinginnya alam. Setelah selesai makan kami berencana untuk istirahat tapi Greenhill sangat bersih keras untuk segera melihat tenget Watu (batu Lisung), sebuah situs yang ada di Treman yang berlokasi di wilayah perkebunan Eris. Dengan langkah gontai tapi masih diikat dengan semangat, tim yang tinggal saya, Freddy dan Greenhill itu mengarah ke selatan desa Treman. Jujur saja, cukup sulit untuk menemukan Tenget Watu karena selama hidup saya baru 2 kali saya melihat keberadaannya disitu. Satu hal yang membuat saya sangat kecewa sesampainya disana setelah beberapa kali bertanya, keadaannya tidak lagi terurus, jalan masuknya saja sulit diketahui orang, bagaimana orang lain akan mengetahuinya, mungkin saja saya menjamin bahwa generasi sekarang orang kampung Treman pun sudah tidak tau lagi tempat ini, tempat yang pernah menjadi Puser in tana’ nya orang- orang Tareuman ( artinya ; yang pertama, atau pembaharuan dari nama desa Treman sekarang), saksi perjalanan yang hebat dari Malesung Besar mencari dunia baru, mungkin saja orang- orang Treman sekarang sudah tidak mengerti lagi bahwa Dotu Tua pembawa leluhur- leluhur Treman adalah orang kuat yang Bergelar Lengkong Waya… mungkin saja disini dimulainya peradaban orang Tonsea kalawat pertama sehingga menjadi rumpun Tonsea yang besar ketika memulai perjalanan yang eksotis dari kelewer dan keraris termasuk eris sampai ke minawanua dan berakhir di Tareuman jaya.. apakah kita sudah mengetahuinya?? Saat ini kita sudah kabur dan sudah tidak tau- menau akan sebenarnya darimana tempat kita berasal, dan mungkin saja sebentar kita akan kehilangan tempat dimana kita berasal… mungkin saja…

Dan mungkin saya harus mengakhiri catatan ini dengan Satu pertanyaan yang melingkar dikepala sampai saat ini, apakah sebagian wilayah di ujung utara Malesung ini masih Tana’ adatnya orang Minahasa Tonsea lagi atau bukan??? Impian saya, mengembalikan harkat dan martabat tanah & masyarakat yang saya cintai ini… (Qta lapas napas panjag lia samua ini, nda sadar minahasa so jaga baganti kuli, dalang hati kita Cuma rasa manages deng batahang diri. Cuma satu yang tatap tabakar dihati, mo ambe ulang qta pe tana deng I jajat U santi!!!, kutipan dari buku puisi bahasa manado JONGEN SPOKEN, Ch. D. Rooroh).
AddThis

Terpopuler